Pokok Permasalahan:
Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah mensejahterakan masyarakatnya sebagaimana hal itu tertulis dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945. Namun tidak sesuai harapan, apa yang menjadi impian bagi rakyat Indonesia hanyalah angan-angan belaka yang tidak mungkin dapat tercapai selama apa yang menjadi duduk perkara itu tidak dimusnahkan.
Kejahatan Korupsi merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dikategorikan pula sebagai kejahatan luar biasa. Bukan hanya kejahatannya saja yang luar biasa, oknum-oknum yang terlibat di dalamnya pun adalah wakil-wakil rakyat yang luar biasa, orang-orang terdidik dengan embel-embel gelar di depan dan di belakang namanya. Wakil rakyat tersebut dengan gagahnya dapat menepis segala tuduhan dan dakwaan yang diarahkan kepadanya, alhasil dari banyaknya pejabat yang didakwa tak seberapa saja yang berhasil masuk ke dalam jeruji besi yang konon katanya merupakan tempat bagi tindak pelaku kejahatan.
Kemirisan ini terjadi berulang kali dan dipastikan akan berlangsung terus menerus, apabila hukum yang mengatur tentangnya hanyalah sebatas hitam di atas putih. Sebut saja kasus yang menimpa Ketua DPR RI periode 2014 – 2019, Setya Novanto, yang didakwakan terlibat dalam korupsi Elektronik-KTP dengan 200 bukti dokumen. Pada awalnya proses persidangan nampak memihak kepada rakyat namun sayangnya di akhir cerita justru rakyatlah yang dikhianati dengan pencabutan dakwaan terhadap Setya Novanto yang kemudian dinyatakan tidak bersalah. Kenyataan ini sangat menyakiti hati rakyat Indonesia, rakyat Indonesia harus menelan pil pahit akibat dana sebesar 2,3 triliun yang sebenarnya dialokasikan untuk pembuatan E-KTP hilang dan tidak diketahui di mana ribahnya.
Di zaman milenial ini, masyarakat Indonesia harus belajar dari masa lalu yang mengakibatkan negeri ini tidak dapat maju, terutama yang dikarenakan tindak pidana korupsi oleh segelintir oknum tertentu. Pejabat-pejabat negara adalah pelayan bagi rakyat Indonesia sedangkan rakyat Indonesia sendiri adalah pemegang kedaulatan tertinggi di negeri tercinta ini. Sejatinya, sebagai pemegang kedaulatan tertingga maka rakyat Indonesia tidaklah perlu merasa takut, sungkan, atau pun berdiam diri ketika mengetahui ada pejabat-pejabat yang menjelma menjadi "tikus berdasi".
Di dalam dunia kerja mungkin saja ada pegawai yang mengetahui, menyaksikan atau mau dilibatkan dalam ajang korupsi massal. Diterima atau ditolaknya ajakan itu tergantung dari tingkat keimanan masing-masing orang. Alasan yang paling kuat, mengapa pegawai-pegawai memilih berdiam atau pun memilih bergabung dalam proyek kotor ini, yaitu karena takut diasingkan, difitnah, dimusuhi atau mungkin dipindahtugaskan ke daerah-daerah terpencil, hal ini tidak berbeda jauh dengan permainan politik yang secara tidak langsung memecah bela aparatur sipil negara.
Masyarakat yang cerdas adalah cikal bakal sejahteranya suatu negara, kecerdasan tidak diukur dari seberapa pintarnya seseorang saja melainkan seberapa tanggapnya masyarakat itu di dalam menyikapi persoalan. Marcus Tulius Cicero berkata: “di mana ada dua atau lebih manusia berkumpul maka di situ ada hukum (ibi societas ibi ius)”, oleh karena itu masyarakat Indonesia harus memiliki adab satu sama lain dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Hukum yang dimaksud pun harus memiliki kekuatan yang sama terhadap semua pihak bahkan terhadap Presiden sekali pun.
Seseorang yang melakukan pelanggaran hukum, setinggi apa pun jabatannya harus menerima akibat dari apa yang telah diperbuatnya. Kejahatan korupsi sekecil apa pun jumlahnya harus ditindaki secara serius, sebab yang namanya kejahatan bisa bermula dari hal-hal kecil terlebih dahulu.
Saatnyalah kita bicara, hal ini yang mau penulis tegaskan kepada siapa pun yang mengetahui adanya tindak pidana korupsi di sekitar atau pun di dalam lingkup kerjanya. Sebab diam bukan pilihan dan diam bukan pula solusi. Apabila Anda merasa terbebani untuk melaporkan suatu kejahatan dikarenakan oknum tersebut adalah teman, atasan atau bahkan saudara Anda sendiri namun di satu sisi Anda merasa perbuatan itu tidak dapat dibenarkan, bahwa dalam hukum tidak mengenal istilah keluarga sehingga segala tindak pelanggaran harus diselesaikan seadil mungkin, maka LPSK adalah solusinya!
Terkait dengan tujuan dibentuknya LPSK ini adalah untuk menjelaskan beberapa hak saksi dan korban dalam memberikan keterangan tanpa tekanan dan hak tidak dituntut atas kesaksian yang diberikannya, dengan demikian saksi mau pun korban suatu kejahatan dapat memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya dan bebas dari intervensi pihak mana pun sehingga dapat membantu pengungkapan suatu kasus.
Diam, menurut pepatah lama memang adalah emas. Namun di satu sisi ia dapat berubah menjadi petaka apabila kita keliru dalam menempatkannya. Saatnya berbicara, karena LPSK siap melindungi!
Referensi:
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
https://www.google.co.id/amp/amp.kompas.com/nasional/read/2017/09/25/06281301/hadapi-praperadilan-setya-novanto-kpk-hadirkan-200-bukti diakses pada tanggal 29 Oktober 2017
https://m.detik.com/news/berita/d-3664113/novanto-menang-praperadilan-status-tersangka-dinyatakan-tak-sah diakses pada tanggal 29 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar